Petuah dari Mbah Jadzab untuk Kita Renungkan

Bang Imam
0
PENISTAAN UMAT
Oleh: Fahrur Rozy



Aku dan Mbah Jadzab menuju lapangan desa tempat pasar malam diadakan dua tahun sekali. Kami berdua antusias menuju bakul soto favorit Mbah Jadzab, Soto Mbok Un, soto dengan kekentalan kuah yang sempurna dan racikan bumbu pas serasa dua tahun berlalu dalam dua hari, rasa telah menyingkat waktu. Jalan menuju pasar malam penuh sesak, tiba-tiba dari belakang sekelompok pemuda berlari dengan obor-obor penerang menabrak kami. Kami terjungkal, seketika aku bangkit, kupasang kuda-kuda, mulutku merangkai mantra, 'Wedus, asu, jaran, nyambik, bajul, kalau kalian tidak minta maaf pada Mbah Jadzab, si kekasihnya yang Maha Kasih ini sebentar lagi kalian akan tahu akibatnya, musibah akan menimpa kalian karena menyakiti kekasihNya.' Sekelompok pemuda itu hanya memandang Mbah Jadzab lalu terkekeh dan berlalu pergi, kudengar sayup-sayup mereka berkata, 'Orang gendeng tidak malati.'
Mbah Jadzab kubantu bangun sebelum menjadi tontonan yang mengasikkan bagi penginjung daripada keramaian pasar malam.
Mbah Jadzab: Kamu tadi ngomong apa kepada mereka?
Aku: Aku ingatkan kepada mereka kalau sampeyan itu malati (membawa musibah)
Mbah Jadzab: Kenapa tak kau doakan saja agar mereka diampuni oleh Allah.
Aku: Wah enak saja Mbah, biar tahu rasa, mereka sedang menyakiti siapa.
Mbah Jadzab (sambil berjalan): Kamu tahu efek dari perkataanmu itu? Saat mereka mengejek kita lalu kita berharap Allah memberi mereka musibah secara kontan karena ejekannya, beberapa saat kemudian mereka akhirnya terkena musibah seperti ucapanmu, maka apa yang ada dalam pikiranmu?
Aku: Karomah (kemuliaan) Mbah Jadzab sangat nyata.
Mbah Jadzab: Tidak, aku dan kamu sebenarnya penyombong yang mengkaromahkan diri, menganggap diri mempunyai kemuliaan, jadi siapapun tak pantas menghina kemuliaan kita, maka siapapun yang menghina kita, wajib terkena kuwalat secara kontan, bukankah begitu pikiranmu?
Aku: Iya kayaknya Mbah
Mbah Jadzab: Saat mereka terkena musibah karena mengejekku, itu bukan karena karomahku (kemuliaanku), itu murni Allah berkehendak demikian, jika setiap yang mengejekku selalu terkena musibah karena kemuliaanku maka aku memposisikan diriku lebih mulia dari Allah sendiri.
Aku (berhenti melangkah): Lho.....
Mbah Jadzab: Berapa persen manusia di bumi ini yang mengejek Allah dan para nabiNya?
Aku: Lebih banyak yang mengejek Mbah daripada yang memujiNya dan para kekasihNya.
Mbah Jadzab: Apakah Allah langsung memberikan adzab musibah kepada para pengejekNya serta menghina kekasihNya?
Aku: Lebih banyak yang dibiarkan daripada yang dikenai musibah Mbah karena ejekannya.
Mbah Jadzab: Nah, kadang pengejekNya dalam perjalanan hidupnya menjadi pemujaNya, kadang ada yang menjadi pemujiNya pada akhir cerita dia menjadi pengejekNya, bukankah dari sejarah Sayidina Umar, Abu Sufyan, Kholid bin Walid dan lainnya, kamu sudah bisa membaca, strategi apa yang di kehendaki oleh Yang Maha Berkendak?
(Aku diam mencerna tiap kata)
Mbah Jadzab: Jika Allah dan para nabiNya berlaku demikian kepada para penghinanya bahkan samapai beberapa nabi dibunuh oleh umatnya, terus kenapa kita inginkan yang menghina kita harus langsung menerima musibah secara kontan karena karomah (kemuliaan) kita. Apa kamu merasa lebih mulia dari para nabi bahkan Maha Mulia dari Allah?
Aku: Tidak berani saya Mbah, walaupun musibah bukan dari bagian kuwalat karomah orang mulia tapi itu kan masuk penistaan ulama
Mbah Jadzab: Kok penistaan ulama, justru harusnya penistaan umat
Aku: Hahaha darimana penistaan umat Mbah? Jangan ngarang istilah Mbah, wong yang marak itu istilah penistaan ulama
Mbah Jadzab: Loh arek iki lek dikandani, bahkan Allah sendiri berfirman kepada Kanjeng Nabi agar bersikap tawadluk kepada umatnya;
واخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِين
...dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
Aku: Lha kalau ada yang menghina ulama atau orang mulia bagaimana Mbah?
Mbah Jadzab: Mintakan ampun kepada Allah bukan memintakan adzab kepada umatnya, bukankah para nabi dan pewarisnya tugasnya untuk membawa umat menjauhi dari adzabNya? Bukan malah mendekatkan umatnya dengan adzabNya.

Dari kejauhan suara ribut terjadi, kelompok pemuda terpeleset, obor penuh minyak tanah membakar rambut mereka. Kami berdua berpandangan, menggeleng-gelengkan kepala, 'Bukan karomah kita' kata lirih kami berdua. Aroma soto Mbok Un semakin tercium, pasar malam gempita, semua menikmati baik yang menghinaNya dalam ketaatan maupun yang benar-benar memujiNya, kami berkumpul sambil menunggu pembiaran ini sampai ujung hidup dalam ketaatan ataukah dibiarkan dalam kehinaan.

(Disarikan dari Ihya Ulumuddin juz 3)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)