Plak! Bakiak Mbah Jadzab Menghampiri Pipiku

Bang Imam
0
Akupun Bisa Ibnu Muljam
Oleh: Fahrur Rozy

Di tengah mbarengi Mbah Jadzab mengecat bakiaknya dengan tulisan 'Ghosob Kuwalat' sayup-sayup terdengar berita dari radio tetangga, 'Pendengar Radio Suara Rakyat Bukan Suara Tuhan yang setia, berita hangat, telah terjadi pemukulan seorang Kiai saat berjamaah.' Aku dan Mbah Jadzab saling pandang.

Aku : Kebacut keterlaluan perilaku Ibnu Muljam
itu! Mbah ini kok semakin hari orang-orang semakin rusak!

Mbah Jadzab: Hahaha kamu baru saja ngrasani Ibnu Muljam sekarang kamu menganggap orang-orang semakin rusak, lah kalau kamu merasa orang-orang semakin rusak maka kamu menyakini dirimu orang yang tidak rusak atau berpotensi rusak, Ibnu Muljam juga begitu meyakini dirinya tidak rusak dan menganggap Sayidina Ali orang rusak lalu Ibnu Muljam mengesekusi Sayidina Ali, nah sekarang iktikad Ibnu Muljam menitis kepadamu, selama seseorang meyakini dirinya yang paling berilmu lalu memandang rendah orang lain karena tak berilmu, maka dia sedang mengibnu-muljamkan dirinya.

Aku : Wait alias tunggu alias sik Mbah, sampeyan menuduh saya Ibnu Muljam, berarti Sampeyan menganggap saya orang rusak, kalau saya sampeyan anggap rusak berarti sampeyan meyakini bahwa diri sampeyan orang yang tidak atau berpotensi rusak, Mbah dengarkan baik-baik, itu termasuk iktikadnya Ibnu Muljam, sekarang Ibnu Muljam menitis pada diri sampeyan hahaha

Plak! (Bakiak Mbah Jadzab mengayun ke wajah saya. Tulisan cat Bakiak yang belum kering membekas di wajah saya 'Ghosob Kuwalat')

Mbah Jadzab: Hahahaha Begini loh wajah Ghosob-an, diamlah saat diajari, karena gelas yang terguncang atau tertutup takkan terisi air dari tekonya, aku mau memberitahu padamu bahwa pengetahuan atau ilmu itu esensinya membuatmu mengerti siapa Tuhanmu siapa dirimu, orang yang tak mengenal dirinya pasti dia takkan mengenal Tuhannya bahkan kadang menganggap dirinya sebagai Tuhan, menerakakan siapa yang tidak sama dengan dirinya mensurgakan siapa saja yang mengimaninya, dalam masalah syariat perbedaan itu sudah terjadi berabad-abad karena menerjemahkan Bahasa Tuhan tidak sama dengan menerjemahkan bahasa keroncongan perutmu yang sudah pasti lapar, nah penganiayaan kiai itu terjadi karena penganiaya beriktikad bahwa tak boleh ada yang berbeda dengan dia pada hukum yang masih terjadi perbedaan.

Aku (mengusap-usap tulisan di wajahku) : Wah berarti penganiaya berkeyakinan bahwa dirinyalah yang berilmu dan menganggap yang lain tak berilmu ya Mbah? Itu berarti kadang orang yang berilmu semakin dia berilmu tak menjamin dia untuk berprilaku urakan nan menjijikkan maupun berprilaku bejat bahkan keluar dari esensi ilmunya sendiri, tak mengenal Tuhannya, kenapa bisa demikian Mbah? Berilmu tapi tetap bermaksiat dengan ilmunya.

Mbah Jadzab mengambil kaleng sisa cat warna cokelat yang digunakan mengecat bakiaknya, dia menumpahkan air tawar dalam teko ke dalam kaleng tersebut.

Aku: Maksudnya apa Mbah?

Mbah Jadzab: Air tawar dalam teko adalah pengetahuan atau ilmu, dia jernih, sementara kaleng bekas cat ini adalah hati para pencari ilmu. Air tawar tersebut akan berubah cokelat, kamu tahu kenapa?

Aku: Karena air bersih akan mengikuti kekotoran wadah catnya Mbah!

Mbah Jadzab: Benar, pengetahuan sejernih apapun saat masuk ke dalam hati para pelajar yang kotor penuh intrik dan maksiat, maka ilmunya akan dijadikan alat untuk merusak. Perlu kamu tahu bahwa ilmu akan memberikan efek bagi pencari ilmu menjadi pribadi tawadlu, saat seseorang yang berilmu tapi tidak tawadluk atau sombong, maka sebenarnya dia tak berilmu.

Aku: Terus apa yang harus aku lakukan? Mumpung penulisnya belum cantengen jempolnya ngetik status ini?

Mbah Jadzab: Mujahadalah, kendalikan keinginanmu duniawiahmu dengan berbagai cara, semisal kurangi status selfie yang membuat kamu sombong karena banyaknya like, dan jangan like status jika itu membuat penyetatus menjadi sombong, iktikadlah bahwa kamu cuma makhluk dengan usia terbatas dan takutlah ketika usiamu sudah habis ada hari pertanggung jawaban atas apa yang kau lakukan, hindari mengumpat dengan kata-kata, 'ini mulutku milikku sendiri, tanganku milikki sendiri, tubuhku milikku sendiri, hidupku milikku sendiri', tidak, kamu tak memilikinya karena kamu tak mampu membuat dirimu sendiri, kamu cuma dipinjami jasad dan kehidupan oleh Tuhanmu untuk berbuat kebajikan di bumi sebagai lahan akhiratmu bukan malah merusak lahan itu dengan tubuh dan daya pikiranmu itu.

Aku : Siap Mbah, satu lagi Mbah, berita tentang penganiayaan kiai ini biasanya berhubungan dengan penistaan ulama seperti yang marak sekarang.

Mbah Jadzab: Kamu harus tahu pribadi ulama takkan merasa dirinya dinistakan karena dia menganggap dirinya bukan ulama, dia merasa tak berilmu, yang ngamuk itu khan yang mengaku-ngaku ulama yang takut tidak dikatakan ulama, padahal kreteria ulama versi Allah bukan versi netizen itu :
انما يخشى الله من عباده العلماء

Ulama itu takutnya kepada Allah, bukan yang takut pakai batik atau sarung atau tidak masuk media, ulama kok wedian.

Aku: Hahaha

Mbah Jadzab berlalu mengambil sebungkus rokok di dalam kamarnya. Aku mengambil kuas ku cat ulang bakiaknya, 'Ghosoblah aku tidak takut'

Disarikan dari Ihya Ulumuddin bab Sombong dan Bangga Diri Juz 3

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)