PETANI
NGIRIT
Sekarang
ini, semua orang menginginkan segalanya yang serba instan, tidak mau menikmati
proses untuk mencapai sebuah harapan. Tidak hanya orang kota saja yang mau
cepat dan murah, tetapi juga orang desa tidak mau ketinggalan zaman. Segalanya
sudah disediakan oleh dunia, ingin baju? Tinggal pencet HP, besok datang
sendiri bajunya. Ingin beli onderdil motor, tinggal pencet HP, besoknya datang
pula, bahkan ingin beli bakso, tinggal pencet HP, besoknya datang juga,
walaupun itu bakso yang dibekukan, entah kapan produksinya, hahaha.
Kadang
semua ini membuat saya berfikir (walaupun dulu juga pernah sekolah lho), jika
semua ini diterus-teruskan, apa tidak mungkin menjadikan orang-orang malas
gerak, malas untuk melangkahkan kaki sekedar untuk ke pasar mungkin, malas
olahraga (yang katanya membuat orang bikin sehat).
Hal
ini sudah mulai saya rasakan di kampung saya sendiri, generasi tua semakin
berkurang, karena jatah umur dari Tuhan yang tidak bisa ditawar, malaikat
Isroil yang datang tepat pada waktunya menjadikan generasi tua belum sempat
sepenuhnya untuk mewariskan ajaran-ajaran budi luhur kepada saya, sebagai
generasi muda, generasi penerus. Penerus perjuangannya, penerus budi luhurnya
(semoga bias meneladani yaa), penerus untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai
orang kampung yang mayoritas sebagai petani tulen.
Sebagian
generasi tua merelakan anak penerusnya untuk merantau, berusaha mencari
penghidupan yang lebih baik di luar kampung halamannya. Menjadikan tanah
leluhurnya kosong tak terawat, hanya semak-semak liar yang melebat.
Sekembalinya dari luar, anak-anak itu lupa bagaimana mengoperasikan cangkul di
file ladangnya, lupa mengaplikasikan sabit untuk mengolah dan mencacah rumput
pakan ternaknya. Sehingga tanah warisannya sebagian digadaikan atau bahkan ditukar
dengan segepok uang warna merah merona.
Inilah
salah satu permasalahan yang muncul di desa saya, kaum muda mulai enggan untuk
turun ke sawah, tidak mau lagi bermain dengan indahnya kubangan dan beceknya
tanah. Merreka lebih memilih untuk menempati lokasi yang berkeramik, tiap
harinya sebisa mungkin untuk tidak menginjak tanah, bekerja di pabrik milik
orang-orang korea ataupun jepang. Memjadi pembantu di negeri sendiri ini
sangatlah ironi.
Tetapi
saya memilih kebalikan dari banyak orang kawula muda tersebut, saya anak
seorang petani, dan sedang menjalani peran juga sebagai penggarap tanah. Ya,
walaupun tidak seluas tetangga kanan kiri, tetapi memiliki lahan yang bias dijadikan
uji coba untuk eksperimen seenaknya. Ya, mencoba untuk menjadi petani yang
ngirit, meminimalkan biaya produksi , menekan pengeluaran bahan-bahan baku
dalam meproduksi tanaman pangan dan hortikultura. Dalam rangka menambah penghasilan
yang ala kadarnya anak desa.
Saya
mulai tertari dengan pertanian sejak bangku SMA sederajat, ikut bapak yang
biasa “ngluku” sawah ketika musim kemarau untuk membuat parit tempat tanam jagung
nantinya. Mulai memegang senjata andalan sang tani, sabit gergaji untuk menebas
padi yang menguning, dan seterusnya. Hingga akhirnya saya harus jeda sebentar
selama kuliah di luar kota, melepas semua yang kaitannya dengan cangkul dan
kawan-kawannya. Berusaha focus mikir. Di tengah jalan akhirnya bapak tutup usia.
Saya meneruskan hingga lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah.
Sekembalinya,
saya meneruskan perjuangan bapak dan pelatihan yang sempat tertunda. Menggeluti
pertanian kembali. Kali ini sambil ternak kambing, tak lain dan tak bukan untuk
memproduksi sendiri pupuk organic yang ramah lingkungan dan tentunya irit. Yups,
kambing 5, cukup untuk menghasilkan 1 karung kotoran per minggunya, ditambah
urinnya juga difermentasi untuk menambah nutrisi, tentunya bagi tumbuhan yaa,
bukan saya dan keluarga.
Itu
baru dari satu sisi, kotoraan dan urin kambing untuk pertanian. Masih bnayak
lagi yang bias dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil tanaman selain dari pupuk
dan obat dari took pertanian yang semakin hari semakin mahal harganya. Ada pula
air “lindi” yang bagus untuk masa vegetative ataupun generative, air tetesan yang
berasal dari pembusukan sisa tumbuhan dan makanan yang diwadahi dalam ember cat
tumpuk. (biasa disebut sebagai Ember Tumpuk). Ada pula air cucian beras,
air “leri” yang berwarna putih hasil dari pencucian beras sebelum dimasak. Ada pula
jamur “jakaba” yang dihasilkan dari campuran air leri, bekatul dan kar bambu kering.
Dan masih banyak lagi.
Jadi,
untuk mengurangi biaya produksi saya menggunakan pupuk organic dan tentunya
murah bahkan gratis. Tapi, hal ini menemui kendala, banyak orang yang
mecibirnya. Katanya, hasil pertaniannya tidak memuaskan, itu hanya bias untuk
lahan yang sempit, lahan yang luas tidak bias. Semuanya saya terima dengan
lapang dada, saya sabarkan hati dan fikiran untuk menemukan resep yang lainya
dari pada mengurusi omongan orang yang membuat hati kecewa. Bsimillah, semoga
tetap istiqomah dalam menjalani hidup sehat dan ramah lingkungan.