PETANI NGIRIT

Bang Imam
0

PETANI NGIRIT


Sekarang ini, semua orang menginginkan segalanya yang serba instan, tidak mau menikmati proses untuk mencapai sebuah harapan. Tidak hanya orang kota saja yang mau cepat dan murah, tetapi juga orang desa tidak mau ketinggalan zaman. Segalanya sudah disediakan oleh dunia, ingin baju? Tinggal pencet HP, besok datang sendiri bajunya. Ingin beli onderdil motor, tinggal pencet HP, besoknya datang pula, bahkan ingin beli bakso, tinggal pencet HP, besoknya datang juga, walaupun itu bakso yang dibekukan, entah kapan produksinya, hahaha.

Kadang semua ini membuat saya berfikir (walaupun dulu juga pernah sekolah lho), jika semua ini diterus-teruskan, apa tidak mungkin menjadikan orang-orang malas gerak, malas untuk melangkahkan kaki sekedar untuk ke pasar mungkin, malas olahraga (yang katanya membuat orang bikin sehat).

Hal ini sudah mulai saya rasakan di kampung saya sendiri, generasi tua semakin berkurang, karena jatah umur dari Tuhan yang tidak bisa ditawar, malaikat Isroil yang datang tepat pada waktunya menjadikan generasi tua belum sempat sepenuhnya untuk mewariskan ajaran-ajaran budi luhur kepada saya, sebagai generasi muda, generasi penerus. Penerus perjuangannya, penerus budi luhurnya (semoga bias meneladani yaa), penerus untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai orang kampung yang mayoritas sebagai petani tulen.

Sebagian generasi tua merelakan anak penerusnya untuk merantau, berusaha mencari penghidupan yang lebih baik di luar kampung halamannya. Menjadikan tanah leluhurnya kosong tak terawat, hanya semak-semak liar yang melebat. Sekembalinya dari luar, anak-anak itu lupa bagaimana mengoperasikan cangkul di file ladangnya, lupa mengaplikasikan sabit untuk mengolah dan mencacah rumput pakan ternaknya. Sehingga tanah warisannya sebagian digadaikan atau bahkan ditukar dengan segepok uang warna merah merona.

Inilah salah satu permasalahan yang muncul di desa saya, kaum muda mulai enggan untuk turun ke sawah, tidak mau lagi bermain dengan indahnya kubangan dan beceknya tanah. Merreka lebih memilih untuk menempati lokasi yang berkeramik, tiap harinya sebisa mungkin untuk tidak menginjak tanah, bekerja di pabrik milik orang-orang korea ataupun jepang. Memjadi pembantu di negeri sendiri ini sangatlah ironi.

Tetapi saya memilih kebalikan dari banyak orang kawula muda tersebut, saya anak seorang petani, dan sedang menjalani peran juga sebagai penggarap tanah. Ya, walaupun tidak seluas tetangga kanan kiri, tetapi memiliki lahan yang bias dijadikan uji coba untuk eksperimen seenaknya. Ya, mencoba untuk menjadi petani yang ngirit, meminimalkan biaya produksi , menekan pengeluaran bahan-bahan baku dalam meproduksi tanaman pangan dan hortikultura. Dalam rangka menambah penghasilan yang ala kadarnya anak desa.

Saya mulai tertari dengan pertanian sejak bangku SMA sederajat, ikut bapak yang biasa “ngluku” sawah ketika musim kemarau untuk membuat parit tempat tanam jagung nantinya. Mulai memegang senjata andalan sang tani, sabit gergaji untuk menebas padi yang menguning, dan seterusnya. Hingga akhirnya saya harus jeda sebentar selama kuliah di luar kota, melepas semua yang kaitannya dengan cangkul dan kawan-kawannya. Berusaha focus mikir. Di tengah jalan akhirnya bapak tutup usia. Saya meneruskan hingga lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah.

Sekembalinya, saya meneruskan perjuangan bapak dan pelatihan yang sempat tertunda. Menggeluti pertanian kembali. Kali ini sambil ternak kambing, tak lain dan tak bukan untuk memproduksi sendiri pupuk organic yang ramah lingkungan dan tentunya irit. Yups, kambing 5, cukup untuk menghasilkan 1 karung kotoran per minggunya, ditambah urinnya juga difermentasi untuk menambah nutrisi, tentunya bagi tumbuhan yaa, bukan saya dan keluarga.

Itu baru dari satu sisi, kotoraan dan urin kambing untuk pertanian. Masih bnayak lagi yang bias dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil tanaman selain dari pupuk dan obat dari took pertanian yang semakin hari semakin mahal harganya. Ada pula air “lindi” yang bagus untuk masa vegetative ataupun generative, air tetesan yang berasal dari pembusukan sisa tumbuhan dan makanan yang diwadahi dalam ember cat tumpuk. (biasa disebut sebagai Ember Tumpuk). Ada pula air cucian beras, air “leri” yang berwarna putih hasil dari pencucian beras sebelum dimasak. Ada pula jamur “jakaba” yang dihasilkan dari campuran air leri, bekatul dan kar bambu kering. Dan masih banyak lagi.

Jadi, untuk mengurangi biaya produksi saya menggunakan pupuk organic dan tentunya murah bahkan gratis. Tapi, hal ini menemui kendala, banyak orang yang mecibirnya. Katanya, hasil pertaniannya tidak memuaskan, itu hanya bias untuk lahan yang sempit, lahan yang luas tidak bias. Semuanya saya terima dengan lapang dada, saya sabarkan hati dan fikiran untuk menemukan resep yang lainya dari pada mengurusi omongan orang yang membuat hati kecewa. Bsimillah, semoga tetap istiqomah dalam menjalani hidup sehat dan ramah lingkungan.

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)