Syaikh Ihsan Jampes, Kediri dan Karya-Karyanya

Bang Imam
0
Syaikh Ihsan Jampes, Kediri dan Karya-Karyanya



Sebagai seorang kiai, Syekh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat jama’ah, shalat malam, muthola’ah (mengkaji) kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun seluruh waktunya didesikannya untuk santri, Syekh Ihsan tidak melupakan masyarakat umum. Syekh Ihsan dikenal memiliki ilmu hikmah dan menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar santri, Syekh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah dan kalangan yang meminta bantuannya. Keilmuan hikmah yang dimilikinya ini berkat penguasaannya yang baik terhadap kitab-kitab hikmah seperti Syamsul-Ma’arif karya al-Buni, Mamba’ Ushul al-Hikmah, Kitab al-Aufaq karya Imam al-Ghazali, dan lain-lain. Bahkan keilmuan hikmah ini ia integrasikan dan kolaborasikan dengan ilmu falak yang telah difahaminya secara mendalam.

Pada masa revolusi fisik 1945, Syekh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. Pesantren Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan republik yang hendak menyerang Belanda. Di Pesantren Jampes, mereka meminta doa restu Syekh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syekh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih Pesantren Jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syekh Ihsan membuka gerbang pesantrennya lebar-lebar.

Sumbangan Syekh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syekh Ihsan, khususnya karya magnum opus-nya, kitab yang berjudul Sirojut-Tholibin, kitab syarah (penjelasan) dari kitab Minhajul-‘Abidin karya Imam al-Ghazali, terbit pertama kali pada 1932 setebal sekitar 800 halaman. Kitab ini mengulas tasawuf. Syekh Ihsan mendapatkan penghargaan dan legitimasi ilmiyahnya di mata dunia Islam, ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab al-Halab, sebuah penerbit yang berorientasi menerbitkan kitab-kitab kuning (turats), yang sampai saat ini masih eksis. Di antara kitab tasawuf yang ditulis syekh Ihsan adalah kitab Manahijul-Imdad , sebuah syarah (penjelasan) dari kitab Irsyadul-‘Ibad karya Syekh Zainudin al-Malibari, terbit pertama kalinya pada tahun 1940 setebal sekitar 1088 halaman, mengulas tasawuf secara luas dan mendalam.

Sebelum menulis tentang tasawuf, syekh Ihsan berkelana mengelilingi tanah Jawa. Sebuah perjalanan apostolik sebagaimana tradisi para sufi darwis. Dalam perjalanan apostoliknya, ia menjumpai dan berdialog sekaligus menimba ilmu secara singkat dari hampir seluruh ulama tasawuf, mursid tharekat, dan para kiai yang terkenal keilmuan dan kezuhudannya. Bahkan, ia pun menjumpai para tokoh kejawen, pengikut kepercayaan, dan mengajak mendiskusikan secara mendalam persoalan filsafat, spiritual, dan pandangan-pandangan spiritual.

Lebih menakjubkan lagi, ia pun menjumpai para dukun dari berbagai jenisnya, lantaran para dukun dianggap memiliki pandangan dunianya sendiri yang harus diselami. Dari pengalaman perjalanan spiritualnya yang telah menggondol segudang informasi dan ilmu itu menjadi salah satu modal dalam mengkonsepsikan pandangan tasawufnya yang dielaborasikan dengan mengikutsertakan pengalaman pribadi, eksperimentasi spiritual, ritual, pandangan pewayangan, dan pentakwilan atas segenap teks normatif Islam, al-Quran dan hadits.

Pada saat-saat menulis karya-karyanya tersebut, syekh Ikhsan dengan tekun menuliskannya yang tak kenal lelah, tak kenal waktu, bergadang, malam yang hening dilaluinya dengan ditemani segelas kopi dan berbatang-batang rokok. Karena memiliki kebiasaan meminum kopi dan menghisap rokok, akhirnya menginspirasikan lahirnya sebuah kitab yang ditulisnya dengan judul kitab Irsyadul-Ikhwan fi Bayani Hukmi Syurbil-Qohwah wad-Dukhon. Kitab ini diadaptasi dari kitab kumpulan syair-syair atau puisi dari kitab Tadzkiratul-Ikhwan fi Bayanil-Qahwah wad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang, yang kemudian diberi penjelasan (syarh), tebalnya 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hukum merokok dan minum kopi.

Disamping dikenal sebagai pakar tasawuf, syekh Ihsan juga merupakan ulama dan masuk dalam deretan nama pakar ilmu falak (astronomi). Salah satu karya akademik di bidang ini adalah kitab Tashrihl-‘Ibarot, syarah (penjelasan) dari kitab Natijatul-Miqot karya KH. Ahmad Dahlan Semarang, terbit pertama kali pada 1930, setebal 48 halaman.

Seorang sufi yang juga penuh karya akademiknya ini akhirnya pada Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, dipanggil oleh Allah SWT. Usianya yang baru melewati setengan abad ini, 51 tahun, meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Kuburannya hingga saat ini ramai dikunjungi oleh para peziarah, khususnya dari warga NU.

Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam korpus kitab-kitab karyanya yang ‘abadi’ maupun yang terrekam dan tersimpan di dalam hati para murid-muridnya. Beberapa murid Syekh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah Kiai Soim pengasuh pesantren di Tanggir Tuban, KH. Zubaidi di Mantenan Blitar, KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap, KH. Busyairi di Sampang Madura, K. Hambali di Plumbon Cirebon, K. Khazin di Tegal, dan lain-lain.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)